Polisi Mengancam Kebebasan Pers Kita

Oleh: AJI Kediri

World Press Freedom Day (WPFD) atau Hari Kebebasan Pers Sedunia 2015 kembali kita peringati pada 3 Mei 2015. Peringatan ini adalah momentum untuk AJI, bersama organisasi jurnalis di seluruh dunia untuk mengingat kembali pentingnya memperjuangkan dan mempertahankan kebebasan pers. Peringatan ini juga momen menuntut diselesaikannya berbagai kasus kekerasan pada jurnalis yang beberapa di antaranya berujung kematian.

Sejak 1992, 1.123 jurnalis di seluruh dunia terbunuh karena aktivitas jurnalistiknya. Dan 19 di antaranya terbunuh pada 2015 ini. Sementara di Indonesia, sejak 1996, ada 8 kasus kematian jurnalis yang belum diusut tuntas oleh kepolisian, plus 37 kasus kekerasan yang terjadi sepanjang 3 Mei 2014-3 Mei 2015. Sebelas dari 37 kasus kekerasan ini dilakukan oleh polisi, enam kasus dilakukan orang tak dikenal, empat kasus dilakukan satuan pengamanan atau keamanan, empat kasus dilakukan massa, dan lainnya oleh berbagai macam profesi. Dan semua kasus kekerasan atas jurnalis yang dilakukan polisi tidak pernah diselesaikan sampai ke jalur hukum.

Catatan buruk untuk polisi masih bertambah dengan munculnya kasus penetapan tersangka atas Pemimpin Redaksi The Jakarta Post Meidyatama Suryodiningrat pada awal Desember 2014 atas penayangan karikatur yang kasusnya sebenarnya sudah ditangani Dewan Pers. Sampai hari ini, status tersangka atas Meidyatama tidak pernah dicabut meski Dewan Pers sudah melayangkan surat bahwa kasus tersebut merupakan ranah Undang-undang Pers.

Perlakuan buruk polisi juga menimpa jurnalis Tribun Lampung, Ridwan Hardianyah. Ridwan yang juga Sekretaris AJI Bandar Lampung tiba-tiba ditangkap dan digeledah rumahnya pada Rabu, 4 Maret 2015, lalu tanpa ada surat perintah penangkapan. Belakangan diketahui, polisi salah orang. Namun peristiwa ini terlanjur membuat korban trauma bertemu polisi sehingga mengganggu kerja-kerja jurnalistik Ridwan.

Agustus 2014 lalu juga menjadi catatan buruk kepolisian, karena genap sudah 18 tahun kasus terbunuhnya jurnalis harian Bernas Yogyakarta, Muhammad Fuad Syafrudin alias Udin, tanpa pembunuhnya diusut polisi. Berulang kali petinggi-petinggi polisi berjanji mengusut kembali kasus Udin ini, namun sampai masa kadaluwarsa datang yaitu 18 tahun, tak ada tindak lanjut dari polisi.

Total, sampai hari ini, ada delapan kasus pembunuhan jurnalis tanpa ada pengusutan terhadap pelaku. Tujuh jurnalis lainnya adalah Naimullah (jurnalis Harian Sinar Pagi, Kalimantan Barat tewas 25 Juli 1997), Agus Mulyawan (jurnalis Asia Press tewas di Timor-Timur, 25 September 1999), Muhammad Jamaludin (jurnalis TVRI di Aceh, tewas 17 Juni 2003), Ersa Siregara (jurnalis RCTI tewas 29 Desember 2003), Herliyanto (jurnalis tabloid Delta Pos, tewas 29 April 2006), Adriansyah Matra’is Wibisono (jurnalis TV lokal Merauke, tewas 29 Juli 2010), dan Alfred Mirulewan (jurnalis tabloid Pelangi, Maluku, ditemukan tewas 18 Desember 2010).

Catatan buruk kepolisian juga datang dari ranah kebebasan berekspresi warga negara. Berdasarkan catatan Institute for Criminal Justice Reform, sejak 2008, sudah lebih dari 80 kasus kriminalisasi atas warga negara yang mengeluarkan pendapat atau ekspresi di ranah Internet. Korban-korban kriminalisasi berdasarkan Undang-undang Informatika dan Transaksi Elektronik (ITE) ini datang dari berbagai latar belakang seperti ibu rumah tangga, mahasiswa, aktivis, wartawan, dan pengacara. Di beberapa kota, sudah mulai muncul ketakutan narasumber diwawancara media online karena ancaman “pasal karet” UU ITE ini.

Karena itu, untuk tahun 2015 ini, AJI menetapkan Kepolisian sebagai Musuh Kebebasan Pers 2015. AJI menyatakan polisi telah gagal mereformasi diri sebagai pelayan dan pengayom publik. Sejak pertama kali mengumumkan “anugerah” Musuh Kebebasan Pers di tahun 2007, ini kali keempat lembaga yang langsung di bawah Presiden ini menjadi “Musuh Kebebasan Pers”. Jelas, Presiden Joko Widodo harus melakukan reformasi besar-besaran kepolisian karena kebebalan untuk berubah.

Secara khusus, AJI juga mencatat, sampai tahun 2015 ini, kebebasan pers di Papua juga masih dikekang. Lembaga clearing house telah dipakai untuk membatasi akses setiap jurnalis asing yang ingin meliput di Papua. Bahkan, setiap jurnalis asing yang berhasil mendapat akses liputan ke Papua, kerap dikuntit atau dikawal dalam melakukan pekerjaannya sehingga jurnalis tidak leluasa dalam menjalankan tugas publiknya. Jurnalis lokal pun kerap mendapatkan intimidasi dan bahkan terdapat beberapa kasus pembunuhan atas jurnalis.

AJI menyatakan pembatasan akses jurnalis di Papua justru akan berdampak lebih buruk bagi rakyat Papua, lebih jauh Indonesia. Pembatasan akan mendorong kemunculan lebih banyak situs-situs yang jauh dari prinsip-prinsip kerja jurnalisme yang mengedepankan verifikasi dan konfirmasi. Informasi yang beredar melalui Internet, yang tidak bisa dicegah penyebarannya, tidak bisa diverifikasi sementara jurnalis juga kesulitan melakukan tugasnya karena adanya pembatasan. Keterbukaan akses jurnalis di Papua justru akan memberikan publik informasi yang lebih kredibel dan dapat dipercaya, pun dapat pula menjadi mata dan telinga terpercaya bagi pemerintahan Indonesia.

Untuk tahun ini, tema World Press Freedom Day adalah Let Journalism Thrive! Towards Better Reporting, Gender Equality, & Media Safety in the Digital Age. Peringatan WPFD dipusatkan di Riga, Latvia, 2-4 Mei 2015. WPFD diproklamasikan oleh Majelis Umum PBB pada tahun 1993 menyusul adanya rekomendasi soal ini diadopsi dalam Sidang ke-26 Konferensi Umum UNESCO pada tahun 1991. Rekomendasi dan sidang ini juga sebagai respon atas seruan wartawan Afrika yang pada tahun 1991 menghasilkan Deklarasi Windhoek, yang memuat soal prinsip-prinsip pluralisme dan kemandirian media.

Kebebasan pers adalah kebebasan Anda semua. Mari kita rayakan kebebasan kita.